Saturday, June 14, 2008

UPACARA ADAT


UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU DAYAK BENUAQ

Suasana religius menguasai alam pikiran masyarakat Dayak Benuaq. Kepercayaan akan kebahagiaan abadi bagi suku Dayak Benuak di puncak Lumut yang di namakan Usa Bawo Ngeno (disini roh mengalami kebahagiaan abadi) dan kepercayaan kepada alam gaib serta hubungan manusia dengan roh-roh inilah yang membawa suku Dayak Benuaq mengadakan upacara adat kematian.

Suku Dayak Benuaq mengenal tiga jenis upacara adat kematian yang tidak harus dilaksanakan semua, tergantung bagi kemampuan masing-masing, jadi tiga jenis upacara ini bukan merupakan satu kesatuan upacara. Jenis-jenis upacara adat tersebut adalah :

  1. Upacara Param Api
  2. Upacara Kenyau
  3. Upacara Kwangkai.

a. Upacara Param Api

Param berarti memadamkan, api berarti api, jadi param api maksudnya adalah upacara memadamkan api.

Adat Upacara ini adalah upacara yang biasanya dilakukan selama lima hari lima malam, apabila yang meninggal itu adalah perempuan dan lakukan selama enam hari enam malam apabila yang meninggal adalah laki-laki.

Kebiasaan masyarakat suku Dayak Benuaq apabila ada orang yang meninggal mereka memukul tambur sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal. Kebiasaan ini disebut Neruak, yang kemudian disusul dengan titi yaitu orang memukul gong secara bersahut-sahutan. Dengan demikian dari mendengar bunyi tersebut orang tahu bahwa ada orang mati dan mereka akan datang ketempat itu. Setelah banyak orang yang datang, maka sebagian dari mereka mengambil air sungai. Sementara itu gong berhenti berbunyi. Dan kemudian mereka memukul gong kembali pada waktu memandikan orang mati. Gong terus berbunyi sampai upacara memandikan orang mati selesai. Setelah selesai kemudian orang mati tersebut diberi “patuk” (yaitu membuat titik-titik dengan darah yang mulai pada muka, terus bagian badan, kedua lengan dan kemudian pada kedua kakinya. Tanda patik ini menurut kepercayaan mereka agar arwah-arwah atau roh-roh yang mengenal bahwa orang tersebut telah mati. Biasanya kepingan uanng logam diletakkan pada kedua belah mata, pada kedua belah telapak tangan dan juga pada dadanya. Selain itu apabila yang meninggal itu perempuan, maka dikenakan anting-anting, gelang, kalung dan perhiasan wanita lainnya, sedang sebaliknya apabila yang meninggal itu laki-laki maka dikenakan perkengkapan priya.

Orang meninggal tersebut kemudian dibungkus dengan kain batik yang tak terbatas jumlahnya tergantung dari kemampuan masing-masing lalu diikat mulai pada bagian leher, badan, dan kaki sebanyak tujuh ikatan.

Orang meninggal tersebut kemudian dibungkus dengak kain batik yang tak terbatas jumlahnya tergantung dari kemampuan masing-masing ada yang berjumlah tujuh, sembilan lembar dan bahkan ada yang sampai empat belas lembar, kemudian diikat mulai pada bagian leher, badan, dan kaki sebanyak tujuh ikatan. Mayat ini kemudian dibaringkan dengan posisi kepala dibagian timur, kaki di bagian barat sedang kepala ditengadahkan. Orang yang meninggal ini kemudian ditangisi oleh suku Dayak Benuak disebut upacara ngeraring.

Setelah mayat selesai dikemat maka orang-orang mulai mempersiapkan lungun atau dengan kata lain disebut Olo Entakang. Lungun biasanya dibuat dari pohon buah-buahan dan lain sebagainya asal cukup besar. Apabila tidak ada pohon buah-buahan boleh dipakai pohon jenis lain bahkan ada juga yang membuat dari kayu ulin. Untuk membuat lungun ini dilakukan secara gotong royong, Lungun dibuat tidak di rumah tetapi jauh dari rumah dimana didapatkan kayu untuk membuat lungun, bahkan sering pula di buat dihutan.

Untuk mengerjakan sebuah lungun diperlukan waktu yang lama kadang-kadang sehari penuh dan bahkan lebih dari sehari semalam. Oleh sebab itu bagi pekerja pembuat lungun untuk keperluan makannya haruslah dikirim dari rumah. Namun adat mereka mengatakan bahwa sisa makanan yang diberikan pada pekerja pembuat lungun itu tidak boleh dibawa pulang. Sebab mereka beranggapan bahwa apabila dibawa pulang, maka akan membawa pengaruh buruk bagi keluarga yang ditinggalkan.

Setelah lungun selesai dibuat maka lungun dibawa pulang kerumah yang kemudian disempurnakan baik namanya maupun ukurannya harus pas untuk yang meninggal. Apabila sanak keluarga telah berkumpul semua maka upacara memasukkan mayat kedalam lungun dapat dimulai. Barang-barang yang dapat dipergunakan sebagai bekal di kubur bagi yang meninggal, apabila laki-laki maka sebagai bekal kuburnya adalah mandau (parang) taji besi untuk menyabung ayam, piring, mangkok dan perlengkapan laki-laki lainnya sedang apabila perempuan yang meninggal maka yang dipakai sebagai bekal kubur adalah lading (pisau), mangkok, piring dan perlengkapan wanita lainnya.

Pada saat memasukkan mayat kedalam lungun sebagai pengiringnya orang membunyikan seperangkat alat musik, yang terdiri dari sebuah gong, sebuah tambut dan kelantangan. Membunyikan alat-alat ini disebut Domak. Malam atau hari pertama memasukkan mayat kedalam lungun ini di hitung sebagai malam yang pertama atau hari yang pertama ini tata cara upacara adat kematian mulai dirundingkan diantara para keluarga yang ditinggalkan. Pada saat musyawarah keluarga inilah disampaikan pesan-pesan dari almarhumah sebelum meninggal dan juga persiapan-persiapan serta jalannya upacara nanti.

Setelah semuanya selesai dirundingkan maka pihak keluarga yang ditinggalkan mulai mempersiapkan keperluan-keperluan yang dibutuhkan dalam upacara mandinya yaitu :

Ayam

Babi

Palaq (makanan yang disediakan untuk orang mati)

Kelangkang (tempat makan orang mati)

Beras ketan

Beras biasa

Kain merah

Seutas tali

Penyetangi lebih dari satu tidak terikat kadang-kadang sampai enam orang.

Beberapa makanan lainnya untuk keperluan makan para tamu yang datang.

Setelah persiapan ini semua telah disiapkan, maka penyetangi mulai memimpin upacara. Pada malam yang pertama keluarga yang di tinggalkan harus menyiapkan makanan untuk orang yang mati yaitu kue palaq, ayam dan babi yang sudah disembelih, yang kemudian ditempatkan pada kelangkang yang berjumlah tujuh buah. Setelah makanan ini siap maka tugas penyetangi (pawang) adalah menunjukkan makanan tersebut kepada roh orang mati agar dia (roh yang meninggal tersebut) mengajak teman-temannya untuk makan. Cara menunjukkan makanan tadi adalah dengan doa-doa dan ucapan-ucapan atau mantera-mantera yang berbunyi : :Petung Okatu Klalungan/liaw opekang bulu” ( sama dengan menunjukkan makanan dengan keris).

“Ejak okatu pulut pare matatu bini pijak unek mata polupan, jaban oyaq bungan tantu: touq jelaq matatu ulaq” ( sama dengan segala yang biberikan adalah hasil panen yang baik).

“Isap tuaq, puti senteron lati lomuq senteron munan” (Sama dengan makanan yang diberikan adalah balas jasa para arwah).

Perlu diketahui bahwa seluruh kegiatan upacara adat ini dilaksanakan di balag salay (rumah adat).

Pada malam kedua ketiga tugas pengetangih pada dasarnya sama dengan tugasnya dimalam yang pertama yaitu membaca doa – doa.

Pada malam keempat tugas pentangih adalah meriwayatkan si mati sejak lahir dan segala pengalamannya didunia segala kisah, kejadian – kejadian, peristiwa yang yang telah dialami oleh simati apakah itu yang baik ataupun yang sifatnya buruk tidak terkecualikan. Oleh sebab itu pentangih adalah dipilih oleh orang yang sudah tua dan telah mengetahui keadaan simati.karena hal itulah maka kadang- kadang pengetangih adalah juga kepala adat. Pada malam keempat inilah mulai disebut malam sentangih sebab pada malam inilah dimulainya pengentangih – pengentangih ( Pawang ) berkisah tentang hidup simati.

Pada malam kelima disebut upacara nyolok, pada upacara nyolok ini keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan atau pesta untuk para tamu dan sanak saudara yang datang.

Pada hari keenam disebut upacara param api dan merupakan puncak upacara adat kematian param api , dimana pada hari ini sanak saudara handai taulan datang dengan membawa bahan makanan, ada yang membawa beras ketan, ayam, babi dll,yang maksudnya adalah merupakan sumbangan bagi keluarga yang kesusahan. Pada hari ini dilaksanakan upacara memadamkan api. Jadi segala api yangdidalam maupun diluar rumah harus dipadamkan.Menurut pandangan suku adat benuaq dengan dipadamkannya api berarti api kematian sudah berakhir dan tidak berkelanjutan lagi. Ada sebuah legenda yang mengisahkan tentang asal – usul upacara pemadaman api ini. Dalam legenda itu dikisahkan bahwa pada jaman dahulu melaksanakan upacara kematian dengan mengadakan upacara memadamkan api. Dari legenda inilah orang dayak benuaq melakukan perbuatan mahaji ini.Pada sore harinya dari hari param api ini orang mengantar kelangkang kepinggir jalan yang tak jauh dari rumah. Kelangkang tsb berjumlah 7 buah yang berisi makanan serta pakaian simati yang sudah disobek – sobek. Upacara mengantarkan kelangkang inilah yang sesungguhnya upacara mengantarkan roh simati kepuncak gunung lumut ( tempat bersemayamnya roh- roh orang yang sudah mati. Pada waktu pulang mengantar kelangkang, orang yang mengantar kelangkang, orang yang mengantar kelangkang tidak boleh mengantar kebelakang, karena menurut mereka itu adalah pantangan yang oleh suku dayak benuaq disebut jarit.

Pada malam ketujuh adalah malam penguburan. Suku dayak benuaq mempunyai tiga sistem penguburan :

Sistim Garai, yaitu lungun dimasukkan didalam sebuah rumah kecil yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran lungun. Tingginya kurang lebih 1½ meter.

Sistim kubur yaitu lungun dimasukkan kedalam tanah / kubur yang dibuat berdinding sepeti pagar kemudian ditutup dengan papan yang ditimbuni tanah. Pada atasnya diberi batu nisan.

Sistim solokng yaitu peti mayat yang diukir dibuat dari papan, pada kedua ujungnya diberi hiasan bangkong/ hudoq yaitu patung ekor dan kepala naga.Kemudian lungun dimasukkan kedalam selokng ini. Sistim ini dilaksanakan apabila pihak keluarga akan melanjutkan upacara ini dengan mengadakan upacara kenyau.

Malam ketujuh adalah malam terakhir dan merupakan malam yang mengakhiri upacara adat param api. Upacara ini disebut Mikat Banukng.

Sebelum upacara ini dimulai sanak saudara yang ditinggalkan dikumpulkan. Dalam upacara ini diperlukan kain merah dan seutas tali yang direntangkan kertas ( Salah satu ujungnya dikaitkan pada kayu atau papan diatas ) sedang pada ujung yang satu dipegang oleh penyengtangih yang tugasnya membacakan mantera – mantera diucapkan, maka dengan tiba – tiba penyentangih memutuskan tali yang dimaksudnya dengan pemutusan tali ini berarti bahwa antara hubungan pihak simati dengan pihak yang ditinggalkan mengadakan upacara yang disebut Nulak Habuq.

Nulak Habuq upacara menolak pengaruh buruk akibat kematian dan juga mendapat berkah dari roh – roh orang yang telah meninggal.

Upacara Nulak Habuq ini dipimpin oleh tukang belian. Jalanya upacara : mula – mula tukang belian keluar halaman rumah yang kemudian diikuti oleh beberapa orang lainnya. Sambil berteriak – teriak dengan riang gembira mereka menuju kembali kehalaman rumah yang di sambut oleh orang yang berada dihalaman dengan menyampaikan pertanyaan : Mengapa kalian bergembira, tidak tahukah bahwa kami mendapatkan kesusahan ? yang kemudian dijawab.Tentu kami tahu, tapi kamiinidatang untuk memberikan hiburan dan kemudian mereka bersama – sama bergembira. Kemudian acara ini dilanjutkan dengan mengadakan upacara Pajiak Patakar yang tujuannya adalah menghilangkan pengaruh buruk yang membawa penyakit kematian dan malapetaka. Dengan selesainya upacara pajiak petakar ini maka selesai pula upacara param api ini secara keseluruhannya.

Perlu diketahui disini bahwa acara param api ini merupakan upacara yang wajib dijalankan atau dilaksanakan oleh para keluarga yang ditinggalkan. Dan bagi keluarga yang mampu boleh melanjutkan upacara adat ini dengan melaksanakan upacara kenyau dan upacara kwangkai.

b. Upacara Adat Kenyau

Kenyau adalah kelanjutan dari upacara param api, tetapi bukan merupakan suatu

kewajiban. Upacara ini dilakukan bagi mereka yang mampu saja.

Apabila upacara param api selesai maka dilanjutkan dengan upacara kenyau. Upacara ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, dan bahkan ada yang melaksanakan selama sembilan hari sembilan malam. Upacara ini dilaksanakan karena pihak keluarga merasa belum sampai hati untuk memkamkan yang baru meninggal selain itumereka itu mempunyai suatu anggapan bahwa apabila mereka banyak / lengkap mengadakan upacara – upacara kematian maka roh yang meninggal akan mendapatkan suatu yang lebih tinggi lagi digunung lumut dan juga roh – roh itu nanti akan membantu mereka mencari kebutuhan hidup. Untuk keperluan upacara ini diperlukan biaya yang cukup besar , paling sedikit lima ekor babi yang cukup besar , tujuh ekor ayam bahkan ada yang membunuh kerbau. Selama masa upacara kenyau ini pihak keluarga simati harus menyediakan makanan bagi para tamu yang datang untuk memberi doa agar arwah simati mendapatkan tempat yang tinggi digunung lumut.

Menurut Kepercayaan Suku Dayak Benuaq bahwa roh – roh simati setelah meninggal berpindah kelumut. Semakin tinggi tingkat upacara yang dilakukan keadaan roh simati dilumut semakin baik pula. Kecuali itu mereka percaya bahwa semua yang telah mereka korbankan , yang telah mereka lakukan untuk keperluan simati misalnya ayam, babi, kerbau, lungun, tinaq, selokng, rinaq dll akan terlihat pula dilumut, dan ini semua adalah merupakan bekal bagi simati sebaliknya semakin baik keadaan simati dilimut maka makin baik pula keadaan keluarga yang ditinggalkan dan yang telah melaksanakan upacara tsb.

Sebelum upacara dimulai lungun tinaq atau selong yang akan digunakan harus sudah siap sebab bila upacara dimulai lungun sudah dimasukkan kedalam lungun tinaq atau selong.

Dalam upacara kenyau ini pawang pemimpin upacara adalah seorang “ Pewara”,

Tetapi sebetulnya antara penyentangih dan pewara mempunyai tugas – tugas yang sama yaitu memimpin upacara adat kematian dan mengantarkan roh orang mati kelaut.hanya sedikit bedanya disini, yaitu mengenai jumlahnya menyengtangih yang memimpin upacara peran api jumlahnya boleh genab dan juga boleh ganjil, tetapi pewara yang memimpin upacara kenyau jumlahnya harus ganjil.

Pada malam pertama ( dihitung dari dimulainya upacara kenyau ). Para pewara mulai mengantarkan roh – roh orang mati kelumut dengan mantera – mantera yang dilagukan .biasanya seorang pewara bertindak sebagai pemimpin , yabg diteruskan dengan upacara yang sama pada hari kedua, ketiga, keempat selain tugasnya mengantar roh kelumut , tetapi juga diselingi dengan upacara menunjukan makanan kepada orang mati agar ia mengajak roh – roh yang lain untuk makan bersama.

Pada malam kelima, diadakan upacara ngelarangkaw ( tarian khusus yang dilakukan pada upacara kenyau atau ngawangkai ). Ngerangkaw menurut kepercayaan mereka adalah tarian dari roh – roh orang yang sudah meninggal. Para penarinya adalah tarian dari roh – roh orang yang sudah meninggal. Para penarinya adalah para pewara dan juga pihak keluarga dan para tamu yang berminat ikut . Mereka ini mengenakan kostum yang terbuat dari kulit kayu dan nyiru yang digunakan sebagai sayapnya.jadi masing – masing pengikut mengenakan sepasang nyiru sebagai sayapnya, sedang para pewara mengenakan kostum yang berbeda yang dikenakan sebagai sayapnya adalah bulu – bulu burung, sedang pada bagian kepalanya dikenkan perlengkapan seperti topi yang dihiasi dengan rotan – rotan yang apabila diperhatikan seakan – akan menyerupai tanduk. Perlu diterangkan disini bahwa kostum untuk para pewara tidak sama , tergantung pada tingkatnya / kedudukannya dalam upacara ini yang juga telah disetujui bersama dalam musyawarah yang telah diadakan menjelang upacara param api. Sebagai kepala atau pemimpin pewara mengenakan kostum yang paling baik demikian seterusnya. Para penari Ngerangkaw ini ( Baik laki – laki maupun perempuan ) menari dengan gerakan meloncat sambil mengepak ( seperti gerakan sayap burung pada waktu terbang ) dan meneriakkan ucapan “ hea “ secara bersama – sama. Tarian ini dilakukan sambil mengelilingi lamin.

Pada hari kelima adalah pesawaq belontang atau pesawaq “batu nisan” upacara ini adalah upacara pengawinan pesawaq belontang ( Personofikasi laki – laki ) dengan batu nisan ( Sebagai personifikasi perempuan ) Dalam upacara ini dipakai bahasa sastra yang dilagukan yang disebut “ ngakai “ dalam upacara ini mula – mula dikisahkan bahwa pihak perempuan tidak mau dengan berbagai alasan ( hal ini diwakili oleh para tamu yang datang ) dan kemidian dijawab oleh pesawaq belontang ( yang diwakili oleh para tamu juga ) dengan berbagai alasan misalnya dengan menyajikan akan diberikan kesembuhan, kesenangan dll yang akhirnya pihak perempuan mau . Maksud upacara perkawinan ini adalah melambangkan adanya penyesuaian pendapat agar selamat dalam melaksanakan upacara kwangkai nanti.

Namun demikian upacara perkawinan ini hanya dilakukan apabila pihak keluarga dalam upacara kenyau ini memotong kerbau.

Hari ketujuh disebut hari “ Pekili Kelalungan “ .

Pada upacara ini para pewara telah memanggil roh- roh yang berada di

“ Siapaaq” dan yang berada di “ Talian Tangkir ( dua tempat ini merupakan tempat roh – roh menurut kepercayaan mereka ) dan juga roh yang berada di “Langit Diroy Olo “ ( yaitu roh yang sudah mendapatkan upacara kwangkai ).

Hari kedelapan adalah hari “ Entong Liaw “

Pada upacara ini adalah upacara penjemputan roh – roh orang mati yang berada di lumut yang dimaksudnya untuk menghadiri upacara kenyau.

Hari kesembilan adalah hari “ Waktu “ yaitu hari upacara penembakan kerbau yang telah diikat pada belontang. Upacara ini dilaksanakan apabila pihak keluarga memotong kerbau, tetapi bila tidak memotong kerbau maka hari itu adalah hari terakhir dari upacara – upacara kenyau. Pada malam harinya para pewara memberi makan kepada roh – roh yang mati dan kemudian mengantar roh – rohitu kelumut dengan membawa perbekalan yang antara lain adalah kerbau ( Kalau ada ), babi, ayam, beras dll. Demikian pula para lalungan ( roh yang dipanggil dari siapapun dan taliantangkir diantaranya kembali ketempatnya. Dan acara terakhir pada upacara hari kesembilan ini adalah diadakan upacara mikat banukng yaitu upacara yang maksudnya agar arwah simati tidak menganggu orang yang masih hidup didunia.

Hari ke sepuluh adalah hari pemakaman. Untuk melaksanakan pemakaman ini banyak caranya a.I. lungundimasukkan kedalam rinaq, Garai atau selong. Setelah upacara pemakaman selesai maka diadakan upacara

Buka Barata yang bertujuan untuk ngoding merakng, nan manas, layak nan lihakng yang artinya menghilangkan segala pengaruh jelek yang menimpa keluarga. Sesudah upacara kenyau ini maka pihak keluarga baru diperbolehkan mengadakan upacara yang bersifat gembira misalnya upacara perkawinan.

c.Upacara Kwangkai.

Kwangkai berarti buang bangkai. Maksudnya adalah suatu proses pelaksanaan kegiatan suatu upacara adat kematian suku dayak benuaq yaitu memindahkan tulang – tulang dari pemakaman terdahulu ( pada waktu upacara kenyau ) dan dibawa kerumah adat untuk bersama-sama dengan orang-orang yang meninggal dahulu diadakan upacara kwangkai. Jadi upacara kwangkai ini sifatnya adalah kolektif.

Kwangkaiadalah upacara kematian yang terakhir dan terbesar, apabila diteliti kwangkai dapat dikatakan sebagai suatu pesta kematian, karena pada saat ini kita akan menemui suatu kampung dalam suasana yang benar-benar pesta, banyak orang dari kampung-kampung lain yang datang untuk menghadiri.

Pada saat akan di adakan upacara yang menggambarkan suasana upacara kematian. Pada malam harinya para penyentangih dan para pewara mulai mengadakan upacara yang dipimpin oleh salah seorang penyentangih atau pewara. Para penyentangih atau pewara ini secara bergiliran dan teratur mengucapkan mantera-mantera dengan irama yang indah yang maksudnya adalah mengantarkan roh-roh kelumut. Mantera-mantera yang berirama dan bernada ini oleh suku Dayak Benuaq disebut “Tinga”, atau dengan kata lain Tinga ini menceriterakan perjalanan mereka mengantarkan roh-roh ke alam arwah. Apa yang mereka temui, yang mereka alami, mereka ceritakan dalam tinga itu. Cara yang demikian ini diteruskan pada malam kedua dan malam ketiga, sedang pada siang harinya mereka sibuk untuk mempersiapkan untuk acara malam hari.

Hari ke empat disebut hari “Netak Biyoyang” yaitu pada hari ke empat ini orang mulai memotong-motong serat kayu (Jomok) yang dipergunakan sebagai ikat kepala untuk keperluan menari nantinya. Selain ikat kepala yang disiapkan mereka juga menyiapkan “Ulaap Bura” (Kain panjang putih) dan Sape Bura (baju putih), yang kesemuannya ini adalah juga untuk keperluan menari. Pada jaman dulu ulaap bura dan sape bura ini terbuat dari kulit kayu.

Hari ke lima bisebut hari Noco yaitu pada hari kelima ini orang-orang bekerja mewarnai ikat kepala mereka.

Hari keenam disebut hari “Mungkat Selimat”. Pada hari ini orang-orang mulai membuat selimat yaitu sebuah rumah-rumahan yang diberi lukisan-lukisan yang fungsinya adalah sebagai tempat tengkorak orang mati. Selimat ini kemudian ditempatkan atau digantung dekat penyentangih dan pewara.

Pada sore harinya orang-orang sudah mulai ngerangkaw (tarian untuk mengantarkan arwah). Biasanya tarian ini dilakukan oleh 14 orang laki-laki dan 14 orang perempuan, tetapi kadang-kadang juga lebih. Pada waktu menari-nari ini sipanari mengundang atau memikul tengkorak-tengkorak. Tarian ini dilakukan tujuh kali putaran DARI UJUNG KAMPUNG KE UJUNG KAMPUNG DAN JUGA MENGELILINGI RUMAH ADAT ATAU LAMIN. Ngurangkaw ini da lakukan setiap malam hari sampai upacara kwangkai selesai.

Hari ketujuh adalah untuk mempersiapkan upacara-upacara hari berikutnya.

Hari kedelapan adalah hari pesawaq belontang dan pesawaq batur nisan

Seperti sudah diterangkan dalam bab upacara kenyau maka meksud upacara perkawinan belontang dan batur misan ini adalah mempunyai maksud simbolis adanya persesuaian paham dalam pelaksanaan upacara nanti.

Hari kesembilan disebut Ngulak Belontang (tanam belontang). Belontang ini ditanam ditanah lapang yang luas. Panjang belontang biasanya tiga sampai empat meter terbuat dari kayu ulin yang dipahat menyerupai bentuk manusia dan dihiasi dengan ukurai-ukiran.

Belontang untuk upacara kematian selalu menghadap ke Barat dimana mata hari terbenam. Hal ini sesuai dengan pandangan mereka bahwa terbenamnya mata hari adalah lambang kematian. Belontang ini juga diberi beberapa perlengkapan berupa Serampit (rotan yang dipintal) sepanjang 7 sampai 9 meter yang gunanya jagu untuk menambatkan kerbau yang akan dikorbankan.

Pada hari kesepuluh dan kesebelas tidak ada upacara-upacara khusus. Hari ini dipargunakan untuk mengadakan persiapan-persiapan upacara selanjutnya.

Hari keduabelas adalah hari Pekili Kelalungan (menurunkan kekalungan). Kekalungan menurut kepercayaan mereka adalah roh yang ada pada tengkorak, sebab pandangan mereka beranggapan atau mempercayai bahwa roh yang berada pada bagian badan yang harus diantar kelumut, sedang roh-roh yang sedang dibuatkan upacara kwangkai akan diterbangkan oleh burung enggang ke Talian Langit Deroy Olo. Oleh sebab itu upacara hari kedua belas adalah hari untuk mengumpulkan tengkorak-tengkorak, kemudian disimpan dakam kotak-kotak dan disimpan diatas lamin. Untuk menempatkan kelalungan (tengkorak) ini dibuatkan sebuah tangga yang diberu kain merah. Tangga ini ditempatkan didalam lamin sebagai alat/perlengkapan untuk naik keatas loteng. Sedang tulang-tulang anggota badan lainnya dikuburkan tersendiri.

Dengan disimpannya tengkorak-tengkorak itu diatas lamin maka diharapkan orang-orang atau pihak keluarga dapat mengadakan Nguku Tahun, yaitu upacara untuk membuang sial.

Setelah seluruh persiapan selesai maka pihak keluarga-keluarga yang mengadakan upacara ini dengan perantaraan penyentangih dan pawara memanggil roh adalah dengan melagu-lagukan mantera-mantera dan doa-doa.

Menurut kepercayaan mereka roh-roh itu akan datang dari siapa aku dan Talian Langit Deroy Olo. Roh-roh ini disambut dengan memberikan sirih, pinang yang dipasang pada tengkorak. Selain itu roh-roh ini juga disediakan makanan. Setelah itu maka diadakan dialok atau pembicaraan dengan para roh dengan bahasa yang dilagukan. Bahasa yang dilagukan ini disebut Ngakai. Mula-mula dari pihak para keluarga yang antara lain artinya adalah: mereka mengundang para roh karena mereka (keluarga) sedang mengadakan perayaan upacara kwangkai.

Para keluarga itu mohon berkah dari roh-roh itu agar mereka selamat dan diberi kebahagiaan serta penen yang besar. Kemudian dijawab oleh kelalungan dengan perantara para penyentangih dan pewara yang mengatakan bahwa mereka datang untuk memenuhi undangan. Orang Dayak Benuaq ini beranggapan bahwa para kelalungan itu akan tidur bersama-sama mereka sampai pada upacara pengorbanan kerbau.

Hari ketiga belas disebut hari “Entong Liaw”, yaitu hari untuk mengambil roh-roh yang sudah meninggal. Untuk keperluan ini maka pihak keluarga mengadakan persiapan-persiapan berupa :

- Membuat tangga untuk roh dan tangga untuk orang hidup. Untuk tangga roh ini mata tangganya adalah solok (bambo berisi lemang / nasi ketan) dan dihiasi dengan kain putih, mata tangga ini berjumlah 14 buah.

- Kayu jolok liaw (yaitu kayu yang disusun bertingkat-tingkat sejumlah 7 buah, Biasanya kayu jolok liaw ini sudah disediakan 3 atau 4 minggu sebelum upacara dimulai.

- 2 ekor babi.

-2 ekor ayam jago untuk disabung.

Mula-mula penyentanngih atau pawara dengan membawa tombak dan memikul kekalungan (tengkorak) serta diikuti oleh para keluarga yang membawa perlengkapanupacara turun ketanah dan terus berjalan menuju ka jalan yang tidak jauh dari lamin (rumah adat). Pewara tersebut mengundang liaw (roh) dengan mengucapkan mantera-mantera yang dilagukan. Setelah selesai mereka kembali menuju lamin. Setelah sampai dihalaman lamin mereka ngerangkaw dan Ranah Nglisat yaitu memasukkan kaki diantara 4 pasang alu (alat untuk menumbuk padi sambil merebahkan jolok liaw tadi sampai berhamburan dihalaman lamin. Biasanya tarian atau ngrangkaw ini dilakukan sampai 7kali keliling lamin. Setelah selesai mereka duduk menghadap Rurang liaw, sambil ngakai bergantian. Pada waktu ngakai para pewara bertindak sebagai liaw (roh-roh) dan orang biasa adalah bertindak sebagai mio (orang hidup).

Liaw menceritakan maksud kedatangan mereka karena ada undangan dan menyatakan rela untuk menunggu pesta, kemudian pihak mio membalas dan menyatakan senang bahwa menerima para tamu serta minta berkat agar dijauhkan dari penyakit, malapetaka dan murah rejeki . Kemudian diadakan acara menyabung ayam milik liaw dan milik mio ayam pihak mio dipasang dengan taji besi sedang ayam pihak liaw dipasang dengan taji bambu yang diberi bertali.

Sebelum ayam liaw menyerang talinya tadi ditarik sehingga memudahkan ayam pihak mio menyerang dan menang. Mereka beranggapan bahwa ayam pihak liaw yang menang maka berarti akan banyak musibah dan banyak orang yang mati.Tetapi bila ayam mio yang menang berarti kematian dikalahkan dan sedikit orang yang mati.Pada waktu mentabung ayam biasanya dihamburkan mata uang logam atau perak.

Setelah upacara menyabung ayam selesai, para pewara terus menuju tangga liaw dan menginjak babi kemudian dibunuh.mereka terus naik lamin dan menginjak babi lagi diserambi yang kemudian dibunuhnya pula. Mereka terus menuju Ruran Liaw sambil merangkau mereka duduk diruruan liaw. Disini mereka ngakai lagi. Mio ngakai lebih dahulu dengan memberitakankan bahwa mengadajkan upacara ini dengan maksud agar jauh dari musibah dan murah rejeki dan mohon agar liaw sabar menunggu sampai upacara pembunuhan kerbau. Lalu pihak liaw membalas dengan kata – kata mengatakan bahwa mereka senang menghadiri pesta sampai selesai. Setelah selesai ngakai mereka makan bersama.

Hari keempat belas adalah hari Pekate Kerewan ( hari pembunuhan kerbau ) . Pada pagi – pagi benar kerbau sudah yang sudah dimasukkan kedalam gelogor kandang tempat kerbau berbentuk segitiga ) bagian atas kandang diberi tutup atau atap dari tikar, kerbau diikat dengan serampit ( rotan yang dipintal ) dan serampit diikatkan pada belontang. Diatas gelogor ini yaitu pada tikar tadi para pewara Nempuun Kerawan yaitu meriwayatkan kerbau dari mana asal – usul kerbau , hubungan kerbau dengan kematian manusia dan memberitakan kepada kerbau bahwa pada hari itu ia akan dibunuh dengan cara ditembak ).

Setelah selesai upacara ini para pewara dan pengikut ngerangkaw mengelilingi gelogor dengan meneriakkan ucapan hea….hea…dan kemudian kerbau dilepaskan dari gelogor untuk ditembak . Penembakan pertama dilakukan oleh pewara atas nama Liaw dikenakan pada paha sebelah kiri, baru diikuti oleh yang lain, maksud dari upacarapenembakan ini para Liaw bersuka ria dilumut dalam rangka menyambut tamu baru mereka yaitu roh arang – orang yang sedang dibuatkan upacara tsb. Apabila korban sudah tidak berdaya maka orang – orang berusaha menahan kerbau untuk mengatur arah rebahnya kerbau. Arah rebah kerbau harus sejajar dengan lamin, kepalanya berada disebelah timur dan menghadap dimana matahari terbit dan arah kepala orang mati.

Setelah kerbau mati gong dipalu tanda kerbau sudah mati dan agar para liaw dapat mengetahuinya. Kemudian ditarik ketimur dan kearah barat sebanyak tujuh kali Bagian barat adalah bagian liaw sedangkan bagian timur adalah tarikan mio . Dalam upacara tarik – menarik ini pihak mio harus lebih banyak agar dapat menang dan memang harus dimenangkan oleh pihak mio. Kemudian mereka ngerangkaw lagi mengelilingi bangkai kerbau sebanyak tujuh kali dan diikuti ngakai diatas bangkai kerbau.

Pihak mio menyerahkan bangkai kerbau pada liaw dan mohon doa restu demi kesejahtaraan umat didunia. Setelah upacara penembakan kerbau selesai dilanjutkan dengan naik Engkuni Liaw ( Pohon yang diberi pelicin serta diatasnya digantungkan piring, Mangkok, kain dll. Pohon ini dipanjat beramai – ramai dan kemudian setelah acara ini selsai mereka naik menuju lamin kembali.

Pada malam harinya setelah upacara pembunuhan kerbau para pewara memberi makan kepada roh orang mati dengan membawa kerbau, babi, ayam dan perbekalan lainnya ke Usuk Bawo Ngano ( tempat kebahagiaan abadi ) sedang para kelalungan diantar ketalian Tangkir Langit Deray Olo. Acara ini disusuldengan upacara Mikat Banung, yaitu upaca pemutusan pihak keluarga orang yang mati. Maksudnya agar para roh itu tidak kembali lagi kedunia. Dengan berakhirnya upacara mikat banung maka secara resmi upacara sudah selesai.

Hari kelima belas adalah hari pemakaman. Pemakaman ini dapat dilaksanakan dengan beberapa cara :

Tulang – tulangorang mati dimasukkan kedalam templak, Korerokng atau templak mati

Tulang _ dimasukkan kedalam tempayan atau gucu -0 gici yang kemudian yang kemudian dimasukkan kedalam gur, Tanah Gantukng.

Hari sesudah pemakaman disebut Buka Barata. Upacara buka barata ini dipimpin oleh Tukang Belian yang dimaksudnya adalah untuk menghilangkan pengaruh buruk bagi keluarga.

Jalan upacara, tukang belian dan beberapa orang dengan segala perlengakapan misalnya kepala diikat dengan kain sambil membawa kepala hasilmengayau yang dibungkus kain biru pergi kehutan tak jauh dari rumah. Mereka membawa nasi yang diberi ragi dan tepung. Pada waktu itu gong , Tambur, Kelantangan dipalu. Sambil meletakkan makanan dan tepung mereka memohon kepada Seniang besara agar dijauhkan dari penyakit dan malapetaka. Tepung digosokkan pada dahi setiap pengikut, Kemudian pergi kepohon yang disebut Tukar Nayuq.

Setelah selesai upacara pada pohon mereka kembali kehalaman sambil berseru dan bergembira dan menyebut teri – Lele ini semua dilakukan laki – laki dan perempuan. Mereka membawa perdamaian, kegembiraan sebagai mereka di sambut oleh orang yang ada dilamin dengan riang gembira. Kemudian diteruskan dengan upacara penjiak yang bertujuan untuk ngading Perang nan manas layang nan lihang yang artinya menghilangkan hal – hal yang tidak baik.

Sesudah acara ini selesai dilanjutkan dengan nota.

No comments: